Rabu, 08 Januari 2014

Rabu, 30 Mei 2012

Atraksi 2
Sejak masa terbentuknya masyarakat pertama di Ternate, Cakalele sudah menjadi tradisi masyarakat di kepulauan ini. Seperti halnya di tempat lain di kepulauan Maluku dan sekitarnya, “Cakalele” merupakan bentuk tradisi atau kebiasaan dalam masyarakat tradisional di daerah ini. Tradisi Cakalele sebenarnya bermula dari daerah Maluku Utara, yang kemudian meluas ke daerah-daerah pengaruh kerajaan hingga sampai ke daerah Maluku Tengah (Ambon & Seram), termasuk juga ke wilayah semenanjung Sulawesi bagian utara (di Minahasa juga ada tradisi Cakalele ini) dan juga di kawasan sepanjang pantai timur pulau Sulawesi. Mereka masih tetap menggunakan istilah Cakalele ini sebagaimana sebutan asal yang berasal dari kosa kata bahasa Ternate.
PENGERTIAN

Menurut budayawan asli Ternate Abdul Hamid Hasan, dalam bukunya; “Aroma Sejarah dan Budaya Ternate” (1999), menguraikan bahwa pengertian Cakalele secara etimologi dalam bahasa Ternate, terdiri atas dua suku kata, yaitu “Caka” (syaitan/roh) dan “Lele” (mengamuk). Hingga saat ini masyarakat Ternate masih menggunakan istilah Caka untuk menyebut roh jahat, istilah serupa adalah “Suwanggi“. Jadi, pengertian kata Cakalele secara harafiah berarti “setan / roh mengamuk”. Bila jiwa seseorang telah dirasuki syaitan/roh, maka ia tidak takut kepada siapapun yang dihadapi dan ia telah haus akan darah manusia. Dengan demikian, menurut Abdul Hamid Hasan atraksi Cakalele di dalam peperangan ataupun uji coba ketahanan jiwa raga seseorang dalam “Legu Kie se Gam” berbeda dengan Cakalele yang sekedar ditampilkan pada upacara resmi lain.
Pada upacara resmi lain, penampilan atraksi serupa Cakalele biasanya disebut “Hasa”, tetapi karena pertarungannya sama dengan Cakalele, maka juga disering disebut orang sebagai Cakalele. Hasa hanya merupakan atraksi menyerupai Cakalele. Bedanya para pelaku atraksi Hasa tersebut berada dalam keadaan sadar (termasuk dalam atraksi pertarungan karena jiwanya tidak terasuk roh/jin). Tidak demikian hal dengan Cakalele, karena jiwa pelaku dari kedua belah pihak yang sedang atraksi (bertarung) telah dirasuki syaitan/roh, sehingga semua gerakan yang dilakukan adalah dibawah alam sadar.
Ada dua bentuk atraksi lain yang menyerupai Cakalele, yaitu; “Salai Jin” dan “Hasa” seperti yang saya sebutkan di atas. Salai Jin adalah bentuk upacara memohon bantuan sahabat dari dunia gaib untuk mengatasi persoalan yang timbul di dalam suku atau dalam suatu keluarga. Misalnya untuk mengobati warga suku atau anggota keluarga yang sakit, maka diadakan Salai Jin ini, dengan mempersiapkan perlengkapan pelaksanan upacara itu sesuai adat istiadat yang berlaku.
Adapun peralatan yang digunakan dalam Cakalele dan Hasa ini terdiri atas; Parang (Pedang), Salawaku (Perisai kayu) dan bahkan tombak. Salawaku biasanya dihiasi dengan pecahan porselen piring atau kerang yang berbentuk angka kembang sesuai angka perhitungan menurut kepercayaan sebagai “Jimat” agar mempan menangkis serangan musuh. Sedangkan musik yang mengiringi atraksi Cakalele disebut “Tepe-Tepe” yang peralatannya terdiri dari dua buah Tifa dan satu buah Genderang serta sebuah gong tembaga yang dijadikan alat memukul untuk mengeluarkan suara yang menambah suasana hirukpiruk.
Sebagaimana Cakalele, pelaku Hasa juga menggunakan parang dan salawaku dan menari-nari seperti orang kerasukan dan haus akan perang sambil tangan kanannya diangkat ke atas melambai-lambaikan parang yang digenggamnya, sedangkan tangan kiri biasanya memegang salawaku / perisai yang dilipat ke depan dadanya (lihat gambar). Ritual pengobatan biasanya dilakukan setelah pelakunya dirasuki roh sahabatnya gaib-nya, barulah sipelaku itu dapat mengobati warga yang sakit ataupun orang-orang yang datang minta pertolongan dan pengobatan kepadanya pada saat itu.
Pentas Calkalele di FKN
Dalam peperangan yang sesungguhnya, apabila seseorang yang menghadapi perang dan telah siap dengan parang atau tombak atau salawaku dengan mata terbelalak berlari menuju musuh serta merta pelaku biasanya berteriak;  “AuleeAuleeAulee…”, yang berarti “darah membanjir…” dan terjadilah bunuh-membunuh dalam peperangan tersebut. Kemungkinan kata Aulee ini berasal dari gabungan dua kata, yaitu “Au” yang berarti darah, dan “leo” yang berarti mengalir atau membanjir.  Kebiasaan pelaku apabila mencapai kemenangan, harus meminum darah salah satu musuhnya sebagai imbalan kepada roh gaib sahabat yang merasuki dalam dirinya.  Demikian gambaran peperangan yang terjadi pada jaman dahulu yang diceriterakan oleh beberapa orang tua-tua di Ternate yang saya wawancarai beberapa waktu yang lalu.
Acara besar-besaran yang dilaksanakan oleh setiap suku terhadap sahabat gaib-nya ini disebut dengan “Legu Kie se Gam”. Ini adalah pengertian awal dari “Legu Gam” yang sebenarnya (dahulu). Pada akhir-akhir ini, pengertian Legu Gam (modern) lebih mengarah pada acara “Pesta Rakyat” yang dilaksanakan secara besar-besaran yang dihadiri oleh seluruh masyarakat yang dilaksanakan rutin setiap tahun di alun-alun keraton kesultanan sejak enam tahun yang lalu, adalah bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Sri Sultan Ternate Mudafar Syah II. Pesta Rakyat (Legu Gam) ini dilaksanakan dalam rangka melestarikan budaya tradisional dan menambah nilai jual pariwisata Maluku Utara. (Bahasan tentang Legu Gam – Modern ini akan dibuat dalam posting tersendiri).

Sumber : Oleh : Busranto Latif Doa : http://ternate.wordpress.com/2009/10/18/sekilas-tentang-%E2%80%9Ccakalele-hasa-salai-jin%E2%80%9D-atraksi-ritual-tarian-perang-ritual-pengobatan-secara-gaib/
Di masa Sultan Katarabumi (Catabruno) dari Jailolo, dia punya serdadu rimba yang terkenal dengan kemampuan tempur dan menghilang di hutan secara menakjubkan. Meskipun dia mengutip referensi tentang serdadu ini berasal dari suku Tavarros (Tobaru), tapi dari segi bahasa yang digunakan, maupun adaptasi alam yang cukup lama, dan karakter mobil serta gaya berperang dalam hutan, bisa saja komunitas inilah serdadu yang dimaksud, yang kemudian menghilang ke dalam rimbah bersama sultannya yang legendaries itu.

Selain itu menurut Resley, kata “Alifuru” yang merupakan sebutan bagi orang yang pertama kali mendiami Maluku bukan berasal dari bahasa Arab (Alif), Sebab jauh hari sebelum pengaruh Arab (Islam) masuk ke Maluku pada pertengahan abad ke XIV, sudah ada bangsa yang mendiami kepulauan Maluku yang penyebarannya dimulai dari Nusa Ina dan Halmahera yang mana disebut oleh antropolog AH. Keane, FJP. Sachese dan OD. Tauren dengan sebutan suku bangsa “Alfuros”. Kata Alif muncul setelah masuknya bangsa Arab ke Maluku. Tetapi sebelum itu, kata Alfuros ini menunjuk kepada nama suku bangsa yang telah ditemukan oleh para ahli, yaitu “ALUNE” yang ada baik di Nusa Ina (Seram) dan Halmahera yang memiliki budaya atau system pemerintahan “ALLUF” yaitu: kepemimpinan berada di tangan “kepala kaum/kepala suku”. Budaya ini mula-mula diterapkan oleh bangsa “Edom”: yaitu keturunan Esau, saudara Yakub (Israel) anak Ishak, di Maluku disebut mata rumah (kepala kaum), kepala Soa dan kepala suku.  Alluf dalam pengertian Ibrani adalah: Panglima, pemimpin 
Dalam perjalan sejarah Maluku Utara, tidak terlepas juga dengan orang alifuru, yang mana mereka direkrut oleh Sultan Babullah (Ternate) dan Sultan Nuku (Tidore) untuk melawan kaum penjajah  yang pernah mendiami Maluku Utara. Namun tidak banyak penulis yang bijak untuk mengungkapkan peristiwa yang pernah terjadi.
Tahun 1570 Sultan Khairun yang dibunuh oleh Portugis saat sedang melangsungkan perundingan. Putranya Sultan Babullah bersumpah untuk mengusir Portugis keluar dari benteng-benteng mereka dan secara gencar mengincar dan menggempur setiap kubu pertahanan portugis termasuk yang terdapat di Mamuya yang tidak tercatat dalam sejarah.  Peristiwa ini banyak memakan korban di pihak Portugis. Bantuan kapal yang datang juga tidak lepas dari incaran. Salah satu kapal besar yang berlayar menyusuri kali Tiabo, pada waktu itu sebagian lembah Galela masih tergenang air, akhirnya karam di daerah Dokulamo yang berada pada posisi 3 Km dari kali Tiabo dan 9 km dari tepi pantai. Saksi mata sekaligus pemilik lahan, Alm. Yulianus Senyenyi, pernah berkisah bahwa ketika dirinya sedang mengolah lahannya beliau menemukan bangkai kapal berukuran panjang 30 depa atau sekitar 45 meter dan lebar 9 depa (15 meter). Kapal Portugis tersebut masuk ke hulu Tiabo untuk menghindari pengejaran pasukan Kora-kora Sultan Ternate. Sayangnya mereka bernasib sial karena meskipun berhasil meluputkan diri namun pasukan Alifuru di pedalaman Galela telah menanti. Pertempuran pun tak dapat dielakkan lagi. 
Sangat mungkin, tradisi ini kemudian melahirkan para pejuang Alifuru yang bertahan di hutan-hutan dan hulu sungai di Halmahera. Mereka makin ke hutan, karena digusur oleh perang dan para bajak laut. Sementara mereka yang tak mau bertahan dalam hutan, melanjutkan tradisi menjadi pejuang-pejuang yang membantu Sultan Nuku. Mereka ini dipimpin oleh Alferisi Suma dan dikenal sebagai Tobelo Tai yang di abad XVII mengantarkan Nuku yang dijuluki Prins Rebel ini menjadi Sultan di Tidore. Mereka menjadi pejuang Nuku garda depan, dan dilanjutkan oleh periode Arif Billa menuntut hak pemulihan tahta Jailolo, pejuang-pejuang ini masih tetap melayani Billa. Setelah perang Nuku selesai dan Jailolo tergusur dari daerah Seram Pasir, para pengelana Tobelo menjalani hidup sebagai bajak Laut.


Sumber : http://ivnemh.blogspot.com/2012/04/suku-terasing-di-halmahera-maluku-utara.html

Kamis, 12 April 2012

Sebuah Pendakian Hidup


Hidup adalah sebuah Pendakian.........
untuk sampai di puncak gunung di awali dengan sebuah langkah Iman.....ketika kita kecapean dan kehilangan semangat hidup atau bosan dgn rutinitas hidupmu, cobalah untuk istirahat sejenak dan merenungi akan kebaikan Tuhan, coba lihatlah ke bawah maka engkau akan bersyukur betap indahnya pemandangan yg telah engkau lalui.....ada orang lain yg lebih menderita dr dirimu. So......Bersyukurlah...dan lanjutkan perjalananmu....
           
          kadang kita bisa tersesat dan jatuh dalam perjalanan hidup kita, untuk mencapai puncak gunung,.....Bro coba lihatlah ke Atas..... Dia.....Dia....sedang sedang mengulurkan tanganNya untukmu.....Dia menunggumu untuk bangkit kembali......sobat..... jangan engkau andalkan kekuatanmu.....kita tak bisa berjalan sendiri tampa Dia, dalam hidup ini..........

Rabu, 11 April 2012

Nou, pomasikata - Tabaru

Baru - baru ini telah terbit buku bahasa Tabaru yang berjudul " Nou, Pomasikata - Tabaru " buku yang sudah di cetak yang kedua, Oktober 2007
buku ini disusun oleh : Jorriece Dimayu, Janet Kotynski, Edward A. Kotynski, Yosias Palangi dan Alwina Tjiwili


buku yang berhalaman 117 ini berisi tentang ejaan bahasa Tabaru, percakapan sehari - hari dalam bahasa Tabaru - Inggris - Indonesia dan kamus bahasa Tabaru, selain itu juga ada referensi buku tentang keberadaan suku Tabaru atau biasa di sebut Tobaru oleh penduduk Halmahera........

Selain buku " Nou, Pomasikata - Tabaru " sudah diterbitkan pula Alkitab dalam bahasa Tabaru " O Buku 'Itebi - tebini " diterbitkan oleh LAI ( Lembaga Alkitab Indonesia )