Rabu, 30 Mei 2012

Atraksi 2
Sejak masa terbentuknya masyarakat pertama di Ternate, Cakalele sudah menjadi tradisi masyarakat di kepulauan ini. Seperti halnya di tempat lain di kepulauan Maluku dan sekitarnya, “Cakalele” merupakan bentuk tradisi atau kebiasaan dalam masyarakat tradisional di daerah ini. Tradisi Cakalele sebenarnya bermula dari daerah Maluku Utara, yang kemudian meluas ke daerah-daerah pengaruh kerajaan hingga sampai ke daerah Maluku Tengah (Ambon & Seram), termasuk juga ke wilayah semenanjung Sulawesi bagian utara (di Minahasa juga ada tradisi Cakalele ini) dan juga di kawasan sepanjang pantai timur pulau Sulawesi. Mereka masih tetap menggunakan istilah Cakalele ini sebagaimana sebutan asal yang berasal dari kosa kata bahasa Ternate.
PENGERTIAN

Menurut budayawan asli Ternate Abdul Hamid Hasan, dalam bukunya; “Aroma Sejarah dan Budaya Ternate” (1999), menguraikan bahwa pengertian Cakalele secara etimologi dalam bahasa Ternate, terdiri atas dua suku kata, yaitu “Caka” (syaitan/roh) dan “Lele” (mengamuk). Hingga saat ini masyarakat Ternate masih menggunakan istilah Caka untuk menyebut roh jahat, istilah serupa adalah “Suwanggi“. Jadi, pengertian kata Cakalele secara harafiah berarti “setan / roh mengamuk”. Bila jiwa seseorang telah dirasuki syaitan/roh, maka ia tidak takut kepada siapapun yang dihadapi dan ia telah haus akan darah manusia. Dengan demikian, menurut Abdul Hamid Hasan atraksi Cakalele di dalam peperangan ataupun uji coba ketahanan jiwa raga seseorang dalam “Legu Kie se Gam” berbeda dengan Cakalele yang sekedar ditampilkan pada upacara resmi lain.
Pada upacara resmi lain, penampilan atraksi serupa Cakalele biasanya disebut “Hasa”, tetapi karena pertarungannya sama dengan Cakalele, maka juga disering disebut orang sebagai Cakalele. Hasa hanya merupakan atraksi menyerupai Cakalele. Bedanya para pelaku atraksi Hasa tersebut berada dalam keadaan sadar (termasuk dalam atraksi pertarungan karena jiwanya tidak terasuk roh/jin). Tidak demikian hal dengan Cakalele, karena jiwa pelaku dari kedua belah pihak yang sedang atraksi (bertarung) telah dirasuki syaitan/roh, sehingga semua gerakan yang dilakukan adalah dibawah alam sadar.
Ada dua bentuk atraksi lain yang menyerupai Cakalele, yaitu; “Salai Jin” dan “Hasa” seperti yang saya sebutkan di atas. Salai Jin adalah bentuk upacara memohon bantuan sahabat dari dunia gaib untuk mengatasi persoalan yang timbul di dalam suku atau dalam suatu keluarga. Misalnya untuk mengobati warga suku atau anggota keluarga yang sakit, maka diadakan Salai Jin ini, dengan mempersiapkan perlengkapan pelaksanan upacara itu sesuai adat istiadat yang berlaku.
Adapun peralatan yang digunakan dalam Cakalele dan Hasa ini terdiri atas; Parang (Pedang), Salawaku (Perisai kayu) dan bahkan tombak. Salawaku biasanya dihiasi dengan pecahan porselen piring atau kerang yang berbentuk angka kembang sesuai angka perhitungan menurut kepercayaan sebagai “Jimat” agar mempan menangkis serangan musuh. Sedangkan musik yang mengiringi atraksi Cakalele disebut “Tepe-Tepe” yang peralatannya terdiri dari dua buah Tifa dan satu buah Genderang serta sebuah gong tembaga yang dijadikan alat memukul untuk mengeluarkan suara yang menambah suasana hirukpiruk.
Sebagaimana Cakalele, pelaku Hasa juga menggunakan parang dan salawaku dan menari-nari seperti orang kerasukan dan haus akan perang sambil tangan kanannya diangkat ke atas melambai-lambaikan parang yang digenggamnya, sedangkan tangan kiri biasanya memegang salawaku / perisai yang dilipat ke depan dadanya (lihat gambar). Ritual pengobatan biasanya dilakukan setelah pelakunya dirasuki roh sahabatnya gaib-nya, barulah sipelaku itu dapat mengobati warga yang sakit ataupun orang-orang yang datang minta pertolongan dan pengobatan kepadanya pada saat itu.
Pentas Calkalele di FKN
Dalam peperangan yang sesungguhnya, apabila seseorang yang menghadapi perang dan telah siap dengan parang atau tombak atau salawaku dengan mata terbelalak berlari menuju musuh serta merta pelaku biasanya berteriak;  “AuleeAuleeAulee…”, yang berarti “darah membanjir…” dan terjadilah bunuh-membunuh dalam peperangan tersebut. Kemungkinan kata Aulee ini berasal dari gabungan dua kata, yaitu “Au” yang berarti darah, dan “leo” yang berarti mengalir atau membanjir.  Kebiasaan pelaku apabila mencapai kemenangan, harus meminum darah salah satu musuhnya sebagai imbalan kepada roh gaib sahabat yang merasuki dalam dirinya.  Demikian gambaran peperangan yang terjadi pada jaman dahulu yang diceriterakan oleh beberapa orang tua-tua di Ternate yang saya wawancarai beberapa waktu yang lalu.
Acara besar-besaran yang dilaksanakan oleh setiap suku terhadap sahabat gaib-nya ini disebut dengan “Legu Kie se Gam”. Ini adalah pengertian awal dari “Legu Gam” yang sebenarnya (dahulu). Pada akhir-akhir ini, pengertian Legu Gam (modern) lebih mengarah pada acara “Pesta Rakyat” yang dilaksanakan secara besar-besaran yang dihadiri oleh seluruh masyarakat yang dilaksanakan rutin setiap tahun di alun-alun keraton kesultanan sejak enam tahun yang lalu, adalah bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Sri Sultan Ternate Mudafar Syah II. Pesta Rakyat (Legu Gam) ini dilaksanakan dalam rangka melestarikan budaya tradisional dan menambah nilai jual pariwisata Maluku Utara. (Bahasan tentang Legu Gam – Modern ini akan dibuat dalam posting tersendiri).

Sumber : Oleh : Busranto Latif Doa : http://ternate.wordpress.com/2009/10/18/sekilas-tentang-%E2%80%9Ccakalele-hasa-salai-jin%E2%80%9D-atraksi-ritual-tarian-perang-ritual-pengobatan-secara-gaib/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar