Rabu, 30 Mei 2012

Di masa Sultan Katarabumi (Catabruno) dari Jailolo, dia punya serdadu rimba yang terkenal dengan kemampuan tempur dan menghilang di hutan secara menakjubkan. Meskipun dia mengutip referensi tentang serdadu ini berasal dari suku Tavarros (Tobaru), tapi dari segi bahasa yang digunakan, maupun adaptasi alam yang cukup lama, dan karakter mobil serta gaya berperang dalam hutan, bisa saja komunitas inilah serdadu yang dimaksud, yang kemudian menghilang ke dalam rimbah bersama sultannya yang legendaries itu.

Selain itu menurut Resley, kata “Alifuru” yang merupakan sebutan bagi orang yang pertama kali mendiami Maluku bukan berasal dari bahasa Arab (Alif), Sebab jauh hari sebelum pengaruh Arab (Islam) masuk ke Maluku pada pertengahan abad ke XIV, sudah ada bangsa yang mendiami kepulauan Maluku yang penyebarannya dimulai dari Nusa Ina dan Halmahera yang mana disebut oleh antropolog AH. Keane, FJP. Sachese dan OD. Tauren dengan sebutan suku bangsa “Alfuros”. Kata Alif muncul setelah masuknya bangsa Arab ke Maluku. Tetapi sebelum itu, kata Alfuros ini menunjuk kepada nama suku bangsa yang telah ditemukan oleh para ahli, yaitu “ALUNE” yang ada baik di Nusa Ina (Seram) dan Halmahera yang memiliki budaya atau system pemerintahan “ALLUF” yaitu: kepemimpinan berada di tangan “kepala kaum/kepala suku”. Budaya ini mula-mula diterapkan oleh bangsa “Edom”: yaitu keturunan Esau, saudara Yakub (Israel) anak Ishak, di Maluku disebut mata rumah (kepala kaum), kepala Soa dan kepala suku.  Alluf dalam pengertian Ibrani adalah: Panglima, pemimpin 
Dalam perjalan sejarah Maluku Utara, tidak terlepas juga dengan orang alifuru, yang mana mereka direkrut oleh Sultan Babullah (Ternate) dan Sultan Nuku (Tidore) untuk melawan kaum penjajah  yang pernah mendiami Maluku Utara. Namun tidak banyak penulis yang bijak untuk mengungkapkan peristiwa yang pernah terjadi.
Tahun 1570 Sultan Khairun yang dibunuh oleh Portugis saat sedang melangsungkan perundingan. Putranya Sultan Babullah bersumpah untuk mengusir Portugis keluar dari benteng-benteng mereka dan secara gencar mengincar dan menggempur setiap kubu pertahanan portugis termasuk yang terdapat di Mamuya yang tidak tercatat dalam sejarah.  Peristiwa ini banyak memakan korban di pihak Portugis. Bantuan kapal yang datang juga tidak lepas dari incaran. Salah satu kapal besar yang berlayar menyusuri kali Tiabo, pada waktu itu sebagian lembah Galela masih tergenang air, akhirnya karam di daerah Dokulamo yang berada pada posisi 3 Km dari kali Tiabo dan 9 km dari tepi pantai. Saksi mata sekaligus pemilik lahan, Alm. Yulianus Senyenyi, pernah berkisah bahwa ketika dirinya sedang mengolah lahannya beliau menemukan bangkai kapal berukuran panjang 30 depa atau sekitar 45 meter dan lebar 9 depa (15 meter). Kapal Portugis tersebut masuk ke hulu Tiabo untuk menghindari pengejaran pasukan Kora-kora Sultan Ternate. Sayangnya mereka bernasib sial karena meskipun berhasil meluputkan diri namun pasukan Alifuru di pedalaman Galela telah menanti. Pertempuran pun tak dapat dielakkan lagi. 
Sangat mungkin, tradisi ini kemudian melahirkan para pejuang Alifuru yang bertahan di hutan-hutan dan hulu sungai di Halmahera. Mereka makin ke hutan, karena digusur oleh perang dan para bajak laut. Sementara mereka yang tak mau bertahan dalam hutan, melanjutkan tradisi menjadi pejuang-pejuang yang membantu Sultan Nuku. Mereka ini dipimpin oleh Alferisi Suma dan dikenal sebagai Tobelo Tai yang di abad XVII mengantarkan Nuku yang dijuluki Prins Rebel ini menjadi Sultan di Tidore. Mereka menjadi pejuang Nuku garda depan, dan dilanjutkan oleh periode Arif Billa menuntut hak pemulihan tahta Jailolo, pejuang-pejuang ini masih tetap melayani Billa. Setelah perang Nuku selesai dan Jailolo tergusur dari daerah Seram Pasir, para pengelana Tobelo menjalani hidup sebagai bajak Laut.


Sumber : http://ivnemh.blogspot.com/2012/04/suku-terasing-di-halmahera-maluku-utara.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar