Di
masa Sultan Katarabumi (Catabruno) dari Jailolo, dia punya serdadu rimba yang
terkenal dengan kemampuan tempur dan menghilang di hutan secara menakjubkan.
Meskipun dia mengutip referensi tentang serdadu ini berasal dari suku Tavarros
(Tobaru), tapi dari segi bahasa yang digunakan, maupun adaptasi alam yang cukup
lama, dan karakter mobil serta gaya berperang dalam hutan, bisa saja komunitas
inilah serdadu yang dimaksud, yang kemudian menghilang ke dalam rimbah bersama
sultannya yang legendaries itu.
Selain
itu menurut Resley, kata “Alifuru” yang
merupakan sebutan bagi orang yang pertama kali mendiami Maluku bukan berasal
dari bahasa Arab (Alif),
Sebab jauh hari sebelum pengaruh Arab (Islam) masuk ke Maluku pada pertengahan
abad ke XIV, sudah ada bangsa yang mendiami kepulauan Maluku yang penyebarannya
dimulai dari Nusa Ina dan Halmahera yang mana disebut oleh antropolog AH.
Keane, FJP. Sachese dan OD. Tauren dengan sebutan suku bangsa “Alfuros”. Kata Alif muncul setelah masuknya bangsa Arab ke
Maluku. Tetapi sebelum itu, kata Alfuros ini menunjuk kepada nama suku bangsa
yang telah ditemukan oleh para ahli, yaitu “ALUNE” yang ada baik di Nusa Ina (Seram) dan Halmahera yang
memiliki budaya atau system pemerintahan “ALLUF” yaitu: kepemimpinan berada di tangan “kepala kaum/kepala
suku”. Budaya ini mula-mula diterapkan
oleh bangsa “Edom”: yaitu keturunan Esau, saudara Yakub (Israel) anak Ishak, di
Maluku disebut mata rumah (kepala kaum), kepala Soa dan kepala suku. Alluf dalam pengertian Ibrani adalah: Panglima, pemimpin
Dalam
perjalan sejarah Maluku Utara, tidak terlepas juga dengan orang alifuru, yang
mana mereka direkrut oleh Sultan Babullah (Ternate) dan Sultan Nuku (Tidore)
untuk melawan kaum penjajah yang pernah
mendiami Maluku Utara. Namun tidak banyak penulis yang bijak untuk
mengungkapkan peristiwa yang pernah terjadi.
Tahun
1570 Sultan Khairun yang dibunuh oleh Portugis saat sedang melangsungkan
perundingan. Putranya Sultan Babullah bersumpah untuk mengusir Portugis keluar
dari benteng-benteng mereka dan secara gencar mengincar dan menggempur setiap
kubu pertahanan portugis termasuk yang terdapat di Mamuya yang tidak tercatat
dalam sejarah. Peristiwa ini banyak
memakan korban di pihak Portugis. Bantuan kapal yang datang juga tidak lepas
dari incaran. Salah satu kapal besar yang berlayar menyusuri kali Tiabo, pada
waktu itu sebagian lembah Galela masih tergenang air, akhirnya karam di daerah
Dokulamo yang berada pada posisi 3 Km dari kali Tiabo dan 9 km dari tepi
pantai. Saksi mata sekaligus pemilik lahan, Alm. Yulianus Senyenyi, pernah
berkisah bahwa ketika dirinya sedang mengolah lahannya beliau menemukan bangkai
kapal berukuran panjang 30 depa atau sekitar 45 meter dan lebar 9 depa (15
meter). Kapal Portugis tersebut masuk ke hulu Tiabo untuk menghindari
pengejaran pasukan Kora-kora Sultan Ternate. Sayangnya mereka bernasib sial
karena meskipun berhasil meluputkan diri namun pasukan Alifuru di pedalaman
Galela telah menanti. Pertempuran pun tak dapat dielakkan lagi.
Sangat mungkin,
tradisi ini kemudian melahirkan para pejuang Alifuru yang bertahan di
hutan-hutan dan hulu sungai di Halmahera. Mereka makin ke hutan, karena digusur
oleh perang dan para bajak laut. Sementara mereka yang tak mau bertahan dalam
hutan, melanjutkan tradisi menjadi pejuang-pejuang yang membantu Sultan Nuku.
Mereka ini dipimpin oleh Alferisi Suma dan dikenal sebagai Tobelo Tai yang di
abad XVII mengantarkan Nuku yang dijuluki Prins Rebel ini menjadi Sultan di
Tidore. Mereka menjadi pejuang Nuku garda depan, dan dilanjutkan oleh periode
Arif Billa menuntut hak pemulihan tahta Jailolo, pejuang-pejuang ini masih
tetap melayani Billa. Setelah perang Nuku selesai dan Jailolo tergusur dari
daerah Seram Pasir, para pengelana Tobelo menjalani hidup sebagai bajak Laut.
Sumber : http://ivnemh.blogspot.com/2012/04/suku-terasing-di-halmahera-maluku-utara.html
Sumber : http://ivnemh.blogspot.com/2012/04/suku-terasing-di-halmahera-maluku-utara.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar